“Dan
demikianlah Kami jadikan untuk setiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan
(dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan
kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk
menipu (manusia). (QS al-An’am:11)
Prof. Hamka, dalam Tafsir al-Azhar, membuat uraian menyangkut ayat tersebut:
“Seorang Rasul diutus Allah untuk menyeru manusia menempuh Shirathal Mustaqim,
jalan yang lurus. Maka segala syaitan-syaitan manusia dan jin itu
menyusun pula kata-kata yang penuh tipu daya untuk membelokkan perhatian
orang daripada jalan yang lurus itu. Mereka mencoba manggariskan jalan
yang lain, memujikan, mempropagandakan supaya orang merasa bahwa yang
mereka kemukakan itulah yang benar. Inilah tipudaya! Karena kalau sudah
diselidiki kelak dengan seksama, akan ternyata bahwa rencana yang mereka
kemukakan itu hanya semata-mata zukhrufal-qauli, yaitu kata-kata yang dihiasi. Zukhruf
artinya perhiasan, lebih besar bungkusnya daripada isinya, reklame yang
kosong penuh tipu.” (Hamka, Tafsir al-Azhar, Juzu’ VIII).
Kita
ingat, bahwa setelah terusir dari surga, Iblis kemudian bertekad bulat
untuk menyesatkan sebanyak-banyaknya manusia. Salah satu caranya,
sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur`an adalah menghiasi (mengemas)
kebathilan menjadi sesuatu yang indah, sehingga menarik perhatian
manusia untuk mengikutinya.
“Iblis
berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku
sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan
maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.
Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis diantara mereka.” (QS. al-Hjir: 39).
Tentu,
peringatan Allah SWT dalam al-Qur`an ini wajib kita camkan. Hidup di
era globalisasi dan kebebasan informasi mengharuskan kita bekerja keras
untuk mampu menyaring dan menilai, mana informasi yang benar dan mana
informasi bikinan para setan. Sebab, betapa banyaknya orang tertipu
dengan kata-kata indah tetapi salah dan menyesatkan.
Lihatlah,
banyak orang yang masih mengaku Islam tetapi meletakkan paham kebebasan
di atas ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Ada yang berteriak lantang
agar agama dan negara tidak ikut campur tangan dalam urusan pakaian.
Mereka menganggap tubuh mereka adalah milik mereka sendiri. Tidak ada
yang berhak mengatur urusan pakaian, baik negara atau pun Tuhan sekali
pun. Mereka merasa berdaulat penuh atas tubuh mereka. Mereka mau
telanjang atau melacurkan dirinya, itu adalah urusan mereka, dan tidak
ada urusan dengan Tuhan atau agama. Manusia-manusia seperti ini tampil
begitu menawan di layar televisi, sambil menyombongkan diri, bahwa
mereka adalah orang-orang yang berbuat kebaikan di muka bumi, karena
telah menjaga dan memperjuangkan kebebasan dan hak asasi manusia.
Kata-katanya
indah! Tapi, tujuannya untuk menipu. Terhadap orang-orang yang
berkeinginan agar soal pakaian diatur, mereka dengan lantang menuduhnya
sebagai orang yang kolot, sok moralis, anti-kebhinekaan, melanggar HAM,
munafik dan sebagainya. Ada yang menyatakan, bahwa yang harus
dipersoalkan bukan objeknya, tapi pikiran manusia itu yang kotor.
“Jangan salahkan gambar-gambar yang telanjang. Tapi, salahkan pikirannya
yang kotor!” ujarnya.
Kata-katanya semacam itu tampak indah! Tapi untuk menipu!
Ketika
MUI mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa paham sekularisme,
liberalisme, dan pluaralisme agama adalah bertentangan dengan Islam,
maka ada yang langsung menuduh MUI tidak menghargai kemajemukan bangsa!
Begitu juga saat MUI menegaskan bahwa Ahmadiyah sesat, langsung muncul
tudingan MUI merasa benar sendiri, MUI melampaui kewenangan Tuhan,
karena berani menyesatkan manusia. Padahal, katanya, yang berhak
menyatakan sesat atau tidaknya seseorang adalah Tuhan dan bukan manusia.
Banyak sekali kata-kata indah dengan tujuan untuk menipu manusia!
Tahun
2008, Yayasan Wakaf Paramadina menerbitkan edisi kedua buku karya Farag
Fouda berjudul Kebenaran yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan
Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslimin. Judul aslinya adalah al-Haqidah
al-Ghaibah. Simaklah, judul buku ini sangat indah: “Kebenaran Yang
Hilang!” Jadi, seolah-olah, selama ini, umat Islam telah kehilangan satu
kebenaran, yang kemudian diungkap oleh Farag Fouda, seorang tokoh
liberal dari Mesir.
Tapi,
jika ditelaah dengan cermat, yang dimaksud sebagai “kebenaran” oleh
Farag Fouda adalah sederet fakta palsu tentang para sahabat Nabi
Muhammad SAW. Salah satu sahabat Nabi yang digambarkan begitu buruk
dalam buku ini adalah Usman bin Affan RDL. Sampai-sampai, dalam salah
satu kolomnya di Majalah TEMPO yang dijadikan epilog buku ini, Goenawan
Mohammad menulis:
“Mereka
tak sekadar membunuh Usman. Menurut sejarawan al-Thabari, jenazahnya
terpaksa “bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan.” Ketika
mayat itu disemayamkan, tak ada orang yang menyalatinya. Jasad orangtua
berumur 83 tahun itu bahkan diludahi dan salah satu persendiannya
dipatahkan. Karena tak dapat dikuburkan di pemakaman Islam, khalifah
ke-3 itu dimakamkan di Hisy Kaukab, wilayah pekuburan Yahudi. Tak
diketahui dengan pasti mengapa semua kekejian itu terjadi kepada seorang
yang oleh Nabi sendiri telah dijamin akan masuk surga. Fouda mengutip
kitab al-Tabaqat al-Kubra karya sejarah Ibnu Saád yang menyebutkan satu
data menarik: khalifah itu agaknya bukan seorang bebas dari keserakahan.
Tatkala Usman terbunuh, dalam brankasnya terdapat 30.500.000 dirham dan
100.000 dinar.”
Tulisan
itu jelas-jelas fitnah besar terhadap Sayyidina Usman RDL. Pakar
sejarah INSISTS, Asep Sobari, telah membongkar kecurangan Farag Fouda
dalam mengutip bahan-bahan cerita dari sejumlah kitab klasik. (Lihat:
CAP ke-246 Adian Husaini di www.hidayatullah.com). Fitnah keji terhadap
sahabat Nabi itu dikemas dengan kata-kata indah, dengan tujuan untuk
menipu manusia. Maka, bukan hanya orang awam yang bisa tertipu oleh buku
Fouda, tetapi sejarawan terkenal seperti Prof. A. Syafii Maarif pun
ikut-ikutan tertipu, sampai-sampai dia menulis di sampul belakang buku
ini:
”Terlalu
banyak alasan mengapa saya menganjurkan Anda membaca buku ini. Satu hal
yang pasti: Fouda menawarkan ”kacamata” lain untuk melihat sejarah
Islam. Mungkin Fouda akan mengguncang keyakinan Anda tentang sejarah
Islam yang lazim dipahami. Namun kita tidak punya pilihan lain kecuali
meminjam ”kacamata” Fouda untuk memahami sejarah Islam secara lebih
autentik, obyektif dan komprehensif”.
Padahal,
jika seorang Muslim mau berpikir jernih: tidaklah mungkin Nabi Muhammad
SAW telah berbohong dengan memuji-muji Usman bin Affan, jika ternyata
Usman bin Affan adalah manusia bejat seperti digambarkan Fouda dan
Goenawan Mohammad. Karena itu, dalam berbagai ayat al-Quran, Allah SWT
mengingatkan, bahwa setan itu adalah musuh manusia yang nyata. Dan
setiap waktu kita berdoa: Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan
yang terkutuk!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar