Dalam Al-Qur’an, Allah swt. selalu menegaskan tentang iman. Bahkan
panggilan identiti hamba-hamba-Nya disebut dengan: almu’minuun, atau
alladziina aamanuu. Iman secara bahasa ertinya percaya. Dari percaya
muncul sikap atau perbuatan. Seorang pesakit yang percaya kepada
doktornya, ia akan patuh ikut apa kata doktor. Ketika doktor menetapkan:
”Anda kena penyakit kanser, dia akan terus percaya. Lalu ketika doktor
memutuskan: Anda harus dibedah,” Ia terus bersedia dengan jumlah biaya
yang perlu dibayar. Ubat-ubatan dari doktor diminum sesuai dengan arahan
yang ditentukan, ada yang tiga kali atau dua kali sehari dan
sebagainya. Semua itu dipatuhi dengan sungguh-sungguh. Bahkan pantang
makanan yang dilarang oleh doktor pun dijauhi, seenak apapun makanan
tersebut, ia berusaha menghindar sekuat mungkin.
Pernah seorang
pesakit kencing manis, ditawar makanan kuih yang sangat enak dan lazat.
Seketika ia berkata, kata doktor, saya tidak boleh makan kuih ini.
Perhatikan sungguh tidak sedikit manusia yang sangat patuh kepada
doktor, tetapi kepada Allah tidak demikian. Padahal Allah jauh lebih
luas pengetahuan-Nya dari pada seorang doktor.
”Percaya” adalah
kekuatan untuk patuh, seperti patuhnya seorang pesakit yang sangat
percaya kepada sang doktor. Percaya dalam Islam disebut iman. Iman harus
berkaitan dengan yang ghaib. Sebab ia merupakan keperluan rohani.
Kerananya di pembukaan surah Al-Baqarah:3, Allah berfirman: ”Alladziina
yu’minuuna bilghaibi (iaitu orang-orang yang beriman kepada yang
ghaib).” Berdasarkan ayat ini maka iman itu harus berkaitan kepada yang
ghaib. Seperti beriman kepada Allah, para malaikat dan wahyu yang turun
kepada para rasul, itu semua adalah ghaib. Dan ternyata ini adalah
keperluan fitrah manusia. Inilah makna fitrah yang Allah firmankan:
”Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak
ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (30:30)
Jadi pada dasar
penciptaannya manusia telah dibekali iman. Dalam surah Al-A’raf: 72,
Allah berfirman: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap
jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka
menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan
yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
“Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap
ini (keesaan Tuhan).”
Inilah persaksian setiap janin, ketika
masih dalam rahim ibunya, ia telah dengan jujur mengakui keimanannya
kepada Allah. Inilah makna hadits Nabi saw. Yang sangat terkenal: “Kullu
mawluudin yuuladu ‘alal fithrah (setiap bayi yang baru lahir, ia lahir
dalam keadaan fitrah (maksdunya berimana kepada Allah swt).”
Sayangnya
kemudian bahawa materialisme telah menyeret manusia untuk hanya
menekuni keperluan fiziknya. Akibatnya mereka selalu sibuk dengan
hal-hal yang berupa benda. Bahkan yang lebih parah mereka berusaha untuk
membendakan yang ghaib. Itulah asal-muasal munculnya matahari, patung,
pohon besar dan lainya dianggap sebagai tuhan. Mereka merasa kurang puas
kalau tuhan yang mereka sembah tidak nampak. Padahal tabiat iman harus
selalau berkaitan dengan yang ghaib. Maka selama kecendrungan
materialistik tetap menguasai dan diutamakan di atas segalanya,
automatik keimanan akan dikesampingkan. Dan mereka tidak akan pernah
merasakan nikmatnya iman. Dari sinilah kekeringan rohani terjadi.
Semua
orang sebenarnya ingin bahagia. Tetapi banyak dari mereka yang tidak
menemui kebahagiaan itu. Ada yang mengejar kebahgiaan di balik hiburan
dan kemegahan. Bahkan banyak juga yang sampai tercebur dalam dosa-dosa.
Namun ternyata kebahagiaan tidak juga didapatkan. Banyak orang mengalami
stres dan tekanan justru di saat telah mencapai puncak kejayaan
duniawi. Di sini jawapannya adalah iman bahawa hanya iman yang akan
mengisi kekeringan rohani mereka. Caranya patuhi Allah dengan
sesungguh-sungguhnya. Bukan sekedar basa-basi atau puara-pura atau
setengah hati. Bila mereka patuh kepada doktor atau bos dengan
sungguh-sungguh, maka patuhlah kepada Allah di atas semua itu.
Yang
banyak terjadi adalah bahawa Allah sering dikesampingkan. Solat
diabaikan kerana kerja dan lain sebagainya. Seharusnya seorang muslim
waktunya diatur oleh solat, bukan dia yang mengatur solat. Demikinlah
Rasulullah dan sahabat-sahabatnya mencontohkan hal ini.
Maka
selama kepatuhan kepada Allah dianggap sampingan, iman tidak akan pernah
kuat. Dan akibatnya kebahagiaan hakiki tidak dapat dicapai. Sebaliknya
ketika keimanan benar-benar menggelora, lalu dibuktikan dengan kepatuhan
yang jujur dan total kepada Allah, maka kebahagiaan akan tercapai.
Wallahu a’lam bishshowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar