Mempertanyakan
kira-kira bagaimana ending dari kasus mafia pajak Gayus Tambunan, skandal Bank
Century, kasus cek pelawat Miranda Goeltom, kasus L/C Misbakhun, skandal
rekayasa hukum Anggodo Widjojo, serta sejumlah kasus lainnya, sama halnya
dengan membayangkan wajah penegakan hukum yang berlepotan politik. Simaklah
bagaimana tarik-ulur kasus-kasus tersebut yang lebih terdominasi kesemrawutan
opini dari keterlibatan politisi: seolah-olah standar sikap penegakan hukum itu
berbeda-beda.
Jika
komitmen penegakan hukum menjiwai para pemimpin di negeri ini, mengapa mereka
tak sesuara dalam mengedepankan rasa keadilan? Yang ada: kepentingan apa dan
siapa memosisikan hukum bergantung dari sudut masing-masing. Ketika anggota DPR
Misbakhun diperiksa polisi, dukungan politik dari sejumlah politikus mewartakan
kurangnya kesadaran berhukum untuk membuat terang perkara. Penyebabnya, apa
lagi kalau bukan karena kepentingan lain yang menekan suatu partai politik
dengan nuansa tawar-menawar?
Di balik
skandal mafia pajak Gayus Tambunan, posisi Susno Duadji sebagai ”peniup peluit”
juga menjadi ironik. Banyak muncul perkiraan, akan ada ”filterisasi proses”,
sehingga hanya lapis tertentu yang terjangkau. Kita tunggu saja bagaimana
langkah Kapolri yang berjanji segera menuntaskannya. Nuansa politik lain yang
kuat juga tampak dari tarik-ulur opini mengenai tempat pemeriksaan Wakil
Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi terkait kasus Bank Century.
Masih
banyak lagi contoh betapa penegakan hukum terkait orang-orang penting sering
direcoki pertarungan politik. Desakan Komite Penelitian dan Pemberantasan
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah kepada KPK agar memberi
perhatian pada kasus-kasus dugaan korupsi sejumlah wali kota dan bupati di
provinsi ini, justru memperkuat realitas bahwa surat izin tertulis dari
Presiden yang ditunggu kejaksaan untuk pemeriksaan merupakan hambatan
administratif yang bisa berlepotan aroma politik.
Berbagai
deskripsi itu menggambarkan fakta pemusatan tawar-menawar kekuasaan sebagai
sumbu dari pergerakan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ketika hukum
seharusnya menjadi poros utama yang memberi kepastian dalam bidang-bidang
ekonomi-politik, yang muncul justru dominasi pancaran energi politik.
Celakanya, pusat-pusat kekuasaan yang sebenarnya diharapkan menjadi penghela
dalam keteladanan penegakan hukum, malah mengambil peran sebagai pengganjal,
dengan cara-cara halus maupun kasar.
Rasa
keadilan rakyat, dibekap dengan cara apa pun, tetap akan menyembulkan energi
ekspresinya. Kondisi yang berlangsung seperti sekarang, jika tidak dikelola
sebagai picu pencerahan kebangkitan, hanya akan melahirkan ide memintas dari
rakyat dan elemen-elemennya untuk ”merumuskan” ungkapan akumulasi
ketidakpercayaannya. Persoalannya, kapankah pemerintah berkesadaran membuktikan
komitmen: menegaskan keseriusan penegakan hukum, utamanya perkara korupsi yang
tidak dilaburi buih-buih politik?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar