Duryudana |
Hastinapura gempar .. Pandawa yang dicintai tewas. Semua berduka kecuali Durjudana dan Sakuni yang memang telah mempersiapkan rencana pembakaran istana kayu dengan sangat rapi. Hanya Widura yang menerima berita tersebut dengan amat tenang. Yakin bahwa Yudistira dapat menterjemahkan pesan rahasianya dan mereka tentu sudah berada di tempat yang aman. Jauh di tengah hutan.
Ketika akhirnya Pandawa berhasil menyelamatkan diri dari upaya pembunuhan dengan cara membakar istana kayu tempat tinggalnya selama menghadiri acara upacara pemujaan Batara Syiwa, mereka memutuskan untuk mengembara di hutan. Berkelana sambil menuntut ilmu dan kesaktian. Bima yang besar dan kuat, tidak jarang harus memanggul ibunya, manakala sang Dewi merasa kelelahan, sambil menggendong Nakula dan Sadewa di lengannya yang lain. Penderitaan selama menempuh perjalanan yang penuh marabahaya dengan segala keterbatasan yang ada membuat mereka semakin bersatu. Disaksikan Dewi Kunti, Pandawa berikrar bahwa apapun yang mereka miliki akan mereka bagi rata dan nikmati bersama-sama sebagai wujud kebersamaan dan persaudaraan.
Hingga suatu hari, mereka bertemu dengan Begawan Wiyasa yang menganjurkan untuk hidup sebagai brahmana dan tinggal di Ekacakra. Mereka kemudian bersalin pakaian dan menyamar sebagi brahmana serta hidup dari sedekah masyarakat. Sekian lama mereka hidup menyamar dalam kesederhanaan agar tidak ditemukan oleh para Kurawa yang tentunya masih bernafsu untuk melenyapkan Pandawa.
Drupadi |
Sebagai ibu yang bijaksana, Dewi Kunti memahami gejolak jiwa putra-putranya tatkala mendengar berita mengenai sayembara memperebutkan putri Panchala tersebut. Dengan sangat halus dan tersamar, sang dewi mengajak putra-putranya meninggalkan Ekacakra untuk mengembara ke negara Panchala yang subur makmur.
Setelah berhari-hari menempuh perjalanan, merekapun tiba di Panchala dan menumpang di rumah tukang kendi sambil tetap menyamar sebagai brahmana. Tiba saat penyelenggaraan sayembara, para ksatria dari berbagai kerajaan beradu kemahiran menggunakan busur dan panah, membidik sasaran berupa burung yang tergantung di belakang roda cakra yang berputar tanpa henti. Tepat di tengah cakra terdapat lubang yang hanya dapat dilalui oleh satu buah mata panah.
Pandawa Lima |
Di tengah keriuhan sayembara dan kekecewaan para putra mahkota kerajaan peserta sayembara, sesaat penonton terkejut kala seorang brahmana maju, meminta ijin agar diperkenankan mengikuti sayembara. Para ksatria memprotes permintaan tersebut. Brahmana tidak pantas bersaing dengan para pangeran. Namun ada juga yang gembira mendukung. Apalagi, setelah memperhatikan tingkah laku, postur tubuh dan raut wajah sang brahmana muda;
”Lihat ...dan perhatikan! Sikapnya yang mantap dan keberaniannya maju ke arena, menyiratkan bahwa dia tahu apa yang harus dilakukannya. Apalagi, seorang brahmana telah terlatih untuk memusatkan perhatian dalam semadi. Beri dia kesempatan”.
Sang brahmana segera menghadap Dristadyumna, meminta ijin;
”Bolehkah aku mengangkat busur?”
”Wahai brahmana muda, adikku bersedia dipersunting oleh pemenang sayembara. Siapapun dia asalkan berasal dari keluarga baik-baik. Apa yang telah terucap tak dapat ditarik kembali. Silahkan mencoba”
Brahmana muda diam sejenak, mengheningkan cipta dan kemudian mengangkat busur. Perlahan-lahan dipasangkan anak panah, lalu diarahkan kepada roda cakra yang berputar. Gerakannya ringan, anggun dan tangkas. Penonton menahan napas. Nyaris tak tertangkap mata, anak panah melesat menembus lubang kecil dan mengenai sasarannya. Anak panah kedua kemudian melesat menembus anak panah pertama. Demikian pula dengan anak panah ke tiga dan seterusnya. Roda cakra kemudian terbelah dan jatuh. Keheningan yang mencekam penonton sontak pecah dengan keriuhan sorak sorai. Gamelan riuh ditabuh. Sasaran telah jatuh dan sayembara dinyatakan usai. Seorang brahmana muda dinyatakan sebagai pemenang dan berhak menikahi Putri Panchala.
Para pangeran ramai memprotes kemenangan brahmana;
”Sayembara apa ini? Pengantin lelaki tidak mungkin dipilih dari kalangan brahmana! Jika tidak mau disunting oleh ksatria, maka Drupadi harus tetap perawan sampai ia melakukan satya. Tak pantas brahmana menyunting putri raja!!”.
Akhirnya keributan pecah. Bhima segera mencabut pohon dan menghalau para ksatria. Balarama dan Krishna berupaya menyabarkan para pangeran. Sementara brahmana muda yang tak lain adalah Arjuna, meloloskan diri dan bersama dengan Drupadi dan saudara-saudaranya yang lain, kembali ke rumah untuk menemui Dewi Kunti.
Tiba di rumah, dengan riang mereka membuka pintu sambil berseru ...:
”Ibu ....., kami membawa hadiah berharga bagi ibu... Kemarilah ....”
”Wahai anak-anakku tercinta ... bagilah hadiah itu, untuk kalian berlima sebagaimana ikrar kalian...” sahut sang Dewi yang sedang asyik memasak, dari balik dinding, tanpa memperhatikan apa yang dimaksudkan dengan hadiah berharga tersebut.
Alangkah terkejut para Pandawa mendengar jawaban sang ibu. Bagaimana mungkin seorang putri raja dibagi untuk mereka berlima. Sama terkejutnya dengan Dewi Kunti, saat menyadari bahwa hadiah yang dimaksud para putranya adalah Drupadi yang baru dimenangkan dalam sayembara.
Prabu Drupada tak kalah terkejut saat mendengar laporan Dristadyumna yang mengiringi Pandawa menjemput sang dewi untuk dibawa ke negara Panchala, mempersiapkan pernikahan agung dewi Drupadi. Drupada menentang perkawinan putrinya dengan Pandawa :
”Sungguh perbuatan tak patut ... tak bermoral ... Bagaimana mungkin pikiran seperti itu merasuki pikiran kalian?”
”Daulat, paduka raja ... Maafkan kami ... Dalam kehidupan sengsara dan terlunta-lunta di tengah hutan, kami telah berikrar dan bersumpah akan membagi rata segala sesuatu milik kami. Kami tidak dapat melanggar ikrar tersebut. Ibu kami sudah memberikan restunya”.
Demikianlah..... perkawinan agung itupun akhirnya dilaksanakan antara Drupadi dengan Pandawa Lima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar