Dia
tidak memberiku kesempatan untuk menolak sebuah rasa, hingga sesuatu tak
berwujud itu hadir dihatiku.
Cinta~
Aku
disini..
Bersama
air hujan yg meledek tangisanku. Mungkin baginya air mataku terlalu murahan.
Tidak seperti airnya yg bisa menyejukkan hati seseorang.
Pedih..
seperti itulah yg dikatakan hatiku saat melantunkan nada kesedihan melalui air
mata. Teriakannya pun sampai tak terdengar, tapi terasa. Sakit.. bahkan sangat
sakit. Seperti menghadapi belati yg menantangku untuk berperang.
Rasanya
bernafas pun sulit.
Masih
kuingat ketika anak tangga yg berjumlah lebih dari banyak kunaiki satu persatu
dan terus melangkah hingga lantai tertinggi dari sebuah bangunan yg ditinggali
oleh sosok yg lebih dari indah bagiku. Dia menginginkan kehadiranku yg sudah
meninggalkannya lebih dari itungan minggu.
Saat
aku berhasil berdiri di sebuah pintu, ada sebuah dentuman bom didadaku yg sulit
kuhentikan agar terjaga lebih tenang. Detakan yg sangat agresif. Kuberanikan
diri untuk mengalirkan ketukan jariku dibalik pintu. Sudah lebih dari beberapa
ketukan, tidak ada tanda-tanda pintu yg memelototiku dari tadi itu akan
terbuka. Lalu aku berkenalan dengan sebuah kursi yg mempersilahkanku untuk
duduk diatasnya. Baiklah.. aku menunggu.
Dengan
kelopak mata berat, aku yg tidak bisa memejamkannya sejak gelap hingga terang
itu masih terus menunggu kedatangan lelaki yg selalu memberi hatiku sarapan
dengan ribuan tusuk belati, dan berbekas. Meski manisnya begitu ramai memenuhi
hatiku, tapi pahitnya lebih menjuarai.
Terdengar
ketukan sepatu yg menghampiri dudukku dari anak tangga. Dia berdiri dihadapanku
dengan senyum tak berdosa, seketika bibir yg sudah sangat kukenal itu mendarat
dikeningku. DEG! Jarum jam menghentikan detaknya. Aku luluh kembali ~
Kembali
melewati detik-detik yg sangat indah diantara semua buaian kesakitan. Dengan
jutaan janji yg disemaikan olehnya, aku berusaha membangkitkan rasa yg disebut
percaya. Sulit.. tapi panah itu masih berpihak padanya. Saat itu.. Bukan indah
lagi yg terasa dibalik dadaku, tapi dihangatkan kembali olehnya.
Ternyata
janji hanyalah sebuah kristal yg bisa dipecahkan kapan saja. Dia PECAH! hingga
hatiku pun dipecahkan menjadi puzzle yg kembali sulit untuk disusun, lagi.
Tanpa mengakui, lelaki yg sekian lama telah terlentang dihatiku itu mengulangi
hal yg paling mendamprat hatiku. Selingkuh.
Kesakitan
itu merajai bagian terkecil hingga terbesar di sekujur hatiku, lagi.
Antara
mempertahankan cinta dan kesakitan.
Kupu-kupu
saja tidak sanggup bertahan jika sayapnya dicabik-cabik, bagaimana dia bisa
terbang? Begitupun aku.
Dengan
cinta yg masih berkobar dan terlalu besar jika ku ukur, aku terjatuh dari surga
ke neraka. Apinya membakar hatiku tanpa abu. Tidak habis, terus
terbakar. Dia kembali mengenalkan air yg sudah bersahabat denganku selama
ini, air mata. Bersamaan dengan tubuhku yg akhirnya terkapar lunglai di
sebuah UGD. Dia menyakitiku disaat yg tidak tepat. HANCUR.
Aku
kembali melepasnya. Meski ribuan kata maaf yg diucapkannya terus-menerus
mengikutiku, meski air mata yg juga dialirkannya terus dan terus memaksaku
untuk tidak meninggalkan sosok indah itu, meski suaranya selalu mengucap “Tidak
ada yg bisa menggantikan kamu”. Tidak. Tidak bisa lagi aku mengangguk.
Aku
pergi. Jauh dan menjauh. Dengan kepedihan yg mengasuhku untuk terus beruraian
air mata. Dengan fikiran yg tidak bisa menolak untuk mengingat semua kenangan
yg pernah kulalui dengannya. Aku terus menangisi luka. Luka itu seperti sayatan
tajam dari pecahan beling, seperti menusukkan belati yg sudah fasih diasah dan
menancap hatiku ke bagian terdalam.
Hati
berperang dengan logika. Meski yg disebut cinta itu hanya tertuju padanya. Tapi
sebuah keharusan aku melepasnya. Melepaskan lelaki yg ku cita-citakan menjadi
imam ku, demi menyelamatkan hatiku. Sungguh.. Lebih dari hancur.
Aku
terkapar diatas paku tajam, tenggelam dalam tangisan.
Selamat
Tinggal Pangeran Terindahku..
Pangeran terindahku
ternyata seorang penyihir jahat. Kisah PUTRI TIDUR impianku
berakhir dengan luka.
Menulis
ini pun sambil mengingat luka itu..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar