salju

Senin, 20 Januari 2014

Cinta Pertama Manusia


Alhamdulillah, saya berkesempatan mendengarkan ceramah Said Ramadhan Al-Buthi tentang rahasia keindahan cinta dari titik awal penciptaan manusia. Selama ini saya hanya membaca buku AL-Buthi, Al-Hubb fil-Qur’an. Namun kini, saya bisa mendengarkan puluhan rekamannya. Sungguh dahsyat. Saya merasakan seolah hadir dalam sebuah majelis di Suriah yang menawan. Saya menangkap getaran-getaran tertentu dari suaranya, yang sukar dijelaskan. Mungkin, inilah yang namanya cinta.
Nah, pada saat saya sedang terkesima, tiba-tiba dia kembali mengulas cinta pertama manusia. Cinta yang paling awal. Paling esensial. Paling primordial. Yakni, cinta yang bersemi di balik ruh manusia sebelum tumbuhnya menjadi bagian-bagian. Cinta ini lahir akibat ruh yang dinisbatkan kepada Allah. Penisbatan ini bersih dari bentuk pemisahan, terlepas dari ruang dan waktu. Pemahaman ini hanya berada di wilayah ilmu Allah, sebab banyak kenyataan ilmiah yang terjadi di alam raya ini yang tak mampu dipahami oleh manusia.
Menurut Al-Buthi, cinta ini telah dijelaskan oleh Allah dalam Al-Quran, bentuk dan sumbernya, yang di dalamnya telah terjadi dialog antara Allah SWT dan ruh manusia, ketika masih berupa satu hakikat yang utuh di alam rahim.
Allah SWT berfirman: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", (QS Al-A’raf [7]: 172)
Lalu, dimana letak cintanya?
Apa hubungan ayat ini dengan hakikat cinta kita yang paling dulu?
Ayat ini adalah rekaman atas perjanjian primordial manusia dan Tuhan ketika masih berada di alam ruh atau alam rahim. Ketika Tuhan bertanya, "Bukankah Aku ini Tuhanmu?"
Lalu, ruh kita bersaksi, mengakui tentang Tuhan. Disini berarti ada rasa cinta kepada Allah dalam ruh kita yang tak bisa digantikan oleh cinta kepada selain-Nya. Cinta yang paling murni. Yang paling dibutuhkan. Hakikatnya, ia adalah cinta pertama manusia. Cinta kepada Sumber dari segala sumber cinta.
Cinta murni ini hanya terjadi antara ruh kepada Allah, bukan cinta kita kepada sesama makhluk, kebendaan, hawa nafsu dan kekuasaan. Sebab, ruh hanya mengenal kesejatian cinta kepada Allah. Cinta ini hadir jauh sebelum kita memiliki, mata telinga, hidung dan mulut.
Lalu, saat kita lahir ke dunia, kita mengenal jenis cinta yang lain. Seiring dengan berjalannya waktu, kita semakin mengelami cinta-cinta yang baru, dengan pesona yang berbeda, sesaat, temporal, dan selalu menghajatkan panca indera. Kita mengenal tentang cinta kepada Ibu, ayah, kakak-adik dan anggota keluarga yang lain. Lalu, terus berkembang pada cinta-cinta yang baru yang lebih bersifat fatamorgana.
Padahal, keindahan tak hanya cukup dirasakan oleh panca indera, sebab mata hati yang ada di dalam jiwa seseorang lebih kuat dan lebih besar daripada mata lahir. Hati lebih detail pengetahuannya dibandingkan pengetahuan mata, telinga, dan hidung. Jadi, dapat dikatakan bahwa “keindahan nilai” yang diketahui oleh akal lebih banyak berpengaruh kepada manusia dibandingkan keindahan fisik yang tampak di mata dan keindahan suara yang didengar telinga. Jadi, keindahan cinta seorang hamba kepada Tuhannya melebihi keindahan yang sekadar dirasakan oleh indra.
Saat kita memahami ayat “Allah itu Mahaindah dan Mencintai keindahan,” tentu persepsi cinta yang kita maksud cinta kepada Allah yang Mahaindah itu bukan sesuatu yang hanya bersifat inderawi bukan?
Atau seperti cinta seorang ABG kepada artis idolanya, atau seperti cinta seorang pelajar dan mahasiswa pada seorang tokoh hebat, bukankah cintanya tak memerlukan bantuan panca indera? Meski belum bertemu dan menyaksikan langsung, tapi hatinya sudah jatuh cinta?
Praktis, cinta-cinta baru dalam kehidupan manusia itu tumbuh dan tumbuh, dan sering kali menghalangi kecintaan ruh kita kepada Allah SWT. Kesejatian cinta kita kepada Allah pun tergoyahkan, karena tawaran cinta-cinta lain yang bersifat fana dan tak akan bersifat abadi.
Allah berfirman: “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (Surat Al-Baqarah [2] : 165)
Lalu, Allah SWT memberi kita petunjuk, mengajarkan kita tentang kesejatian cinta melalui ayat-ayat cinta dalam Al-Quran yang dicontohkan oleh cintanya Rasulullah kepada Allah dan cintanya beliau kepada manusia dan sesama makhluk.
Allah mengingatkan manusia melalui ajaran yang dibawa oleh Rasulullah. Agar manusia kembali mencintai Tuhannya, cinta yang tidak boleh lepas dari jiwa dan kemanusiaan kita. Caranya, dengan mengikuti cara Rasulullah mencintai-Nya, dan cinta-cinta yang diajarkan Rasulullah kepada sesamanya.
“Katakanlah (wahai Muhammad): "Jika benar kalian mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu serta mengampuni dosa-dosamu. Dan (ingatlah), Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang.”(QS Ali Imran [3]: 31)
Terima kasih kepada Al-Buthi yang telah mengajarkan dan mengingatkan kembali tentang Al-Qur’an sebagai kitab cinta.
Semoga bermanfaat!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar