Setiap ketaatan kepada Allah adalah ibadah, itu kita faham. Dan
setiapnya memiliki kontribusi kebaikan bagi pelakunya pada skala
minimalnya, bagi orang-orang di sekitarnya di jangkauan pertengahan,
atau bagi dunia ini dalam cakupan yang lebih luas. Dan secara
akumulatif, selain bagi pelakunya, hal itu akan memberi dampak positif
bagi pendukungnya, juga sistem yang menaunginya.
Dan sebab hidup hanyalah upaya merangkai kebaikan, maka begitu ingin
kita memenuhi setiap jejak langkah dengan ketaatan kepada Allah, detik
per detiknya, menit per menit, jam per jam, hari, pekan, bulan, tahun,
bahkan pada seluruh hidup kita akhirnya. Ketaatan pada kualitas
keikhlasan dan ittiba’ terbaik sebab tidak semua persembahan diterima
oleh-Nya. Ketaatan sebagai pemaknaan ibadah yang benar, yang untuknya
kita diciptakan.
Maka, risaukah kita jika ketaatan itu tak memberi rasa manis ke dalam
jiwa? Sedang kita faham bahwa seluruhnya, bahkan dalam hal yang paling
kecil sekalipun, ia harusnya memiliki makna. Rasa lezat yang membuai dan
menjadi energi hebat untuk membuat kita lebih taat, lagi. Memberi jejak
jiwa dalam iman yang abstrak, dan saat ia kosong melompong dalam
kehampaan hati dan rasa tawar yang hambar, apa lagi yang tersisa kecuali
raga yang lelah? Merapuh dalam sepinya perjalanan yang makin menjauh.
Ada jarak di antara amal ketaatan dan hati kita, demikian Ibnul
Qayyim menyatakan. Di tengah jarak itu ada perompak yang akan
menghalangi sampainya rasa amal ke dalam hati. Sehingga ada manusia yang
banyak beramal namun tidak muncul rasa cinta, takut, mengharap, zuhud
di dunia, rindu akan akhirat, juga cahaya dalam hatinya yang mampu
memisahkan di antara kebenaran dan kebatilan, beserta para tentara
pendukungnya masing-masing. Padahal inilah aneka rasa yang mestinya
muncul sebagai buah ketaatan kepada Allah.
Maka bukan hanya beramal, melakukan ketaatan tanpa perenungan akan
hakikatnya, yang kita hajatkan. Agar ia tak sekedar menggugurkan
kewajiban dan tak pernah peduli bagaimana hasilnya di sisi Allah nanti.
Sebab Allah hanya menerima qurban dengan ketakwaan di dalamnya, dan
menolak selainnya meski sering terlihat sama. Agar pilihan menjadi hamba
beriman bukanlah permainan karena ia datang dari kesadaran.
Akhirnya, agar ketaatan tak tertolak dan manisnya ibadah sampai ke
dalam hati, kita harus waspada terhadap para perompak rasa, berupa
ketidakikhlasan, riya’, ujub, meremehkan orang lain, lalai, bid’ah,
ataupun yang semisalnya. Agar setiap ketaatan menumbuhkan buah,
meninggalkan jejak, menambah tenaga, hingga membawa cahaya. Sehingga
hati kita bersinar karenanya, dan kita melangkah dengan tegap bersama
lezatnya amal yang membuncah dalam jiwa, membela kebaikan dan para
pendukungnya, serta menghancurkan kebatilan beserta pembelanya tanpa
ragu. Sebab cahaya itu benderang menerangi hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar